Pada tanggal 8 Januari 2025 pemerintah resmi memberlakukan Peraturan Menteri Perdagangan nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 26 Tahun 2024 tentang Ketentuan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit. Peraturan baru ini membatasi ekspor tiga produk sampingan minyak sawit. Ketiga produk tersebut adalah:
- Limbah pabrik kelapa sawit (Palm Oil Mill Effluent/POME),
- Residu minyak sawit asam tinggi (High Acid Palm Oil Residue/HAPOR), dan
- Minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO).
Pada pasal 3A Permendag ini disebutkan bahwa Kebijakan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit berupa UCO dan Residu dibahas dan disepakati dalam rapat koordinasi antar kementerian/lembaga pemerintah non kementerian terkait yang diselenggarakan oleh kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan pemerintahan di bidang pangan.
Kebijakan ini didorong oleh keinginan pemerintah melindungi kebutuhan industri dalam negeri untuk menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri minyak goreng rakyat dan juga program biodiesel berbasis minyak sawit sebesar 40% (B40) yang direncanakan dimulai tahun 2025 ini.
Pada 2023, ekspor POME dan HAPOR mencapai 4,87 juta ton sedangkan pada periode Januari hingga Oktober 2024, ekspor POME dan HAPOR mencapai 3,45 juta ton. Pada periode Januari – Oktober 2023 ekspor CPO sebanyak 2,7 juta Ton dan sepanjang tahun 2023 ekspor CPO sebanyak 3,6 juta Ton. Ini menunjukkan bahwa volume ekspor CPO bahkan dibawah volume ekspor PME dan HAPOR.
Secara rata-rata Ekspor POME dan HAPOR pada lima tahun terakhir (2019—2023) tumbuh sebesar 20,74%, sedangkan ekspor CPO pada periode yang sama malah turun sebesar 19,54%. Ekspor POME dan HAPOR tercatat jauh melebihi kapasitas wajar yang seharusnya atau hanya sekitar 300 ribu ton. Ada indikasi bahwa POME dan HAPOR yang diekspor merupakan pencampuran CPO dengan POME atau HAPOR asli bukan yang murni dari residu atau sisa hasil olahan CPO saja.
MZ
Dari berbagai sumber